NU Dan Pesantren Sukorejo
Oleh: Khairul
Anam, S. Pd.I*
Sudah
bukan rahasia lagi, keberadaan NU dipondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah ibarat
susu dan air yang tidak bisa dipisahkan. Dilihat dari sosok para kiai. dipondok
pesantren ini, pengasuh – pengasuh terdahulu dan yang sekarang sangat erat
hubungannya dengan keberadaan NU, KHR. As’ad sampai mewasiatkan kepada
santrinya agar dakwah melalui NU. KHR. Ach. Fawaid As’ad dalam suatu kesempatan
pernah berdawuh “se engko’ mulaen dere, somsom, tolang area NU” (saya ini,
mulai dari darah, sumsum, tolang adalah NU). Sedangkan pengasuh yang keempat.
KHR. Ach. Azaim Ibrahimy, sangan giat sekali berdakwah untuk menjaga nilai –
nilai islam ahlusunnah wal jama’ah sebagaimana yang selama ini diperjuangkan
NU.
Dilihat
dari sisi historis sumbangsih keberadaan pondok dengan keberadaan institusi Nahdlatul
Ulama juga sejalan dengan apa yang diperjuangkan oleh para pengasuh pondok
pesantren salafiyah syafi’iyah. Mulai dari KHR. As’ad secara perorangan menjadi
mediator berdirinya NU, sampai pada pesantren secara kelembagaan menjadi tempat
memurnikan kembali perjuangan Nahdlatul Ulama dan menyelamatkan ideologi negara
(pancasila) agar dapat diterima oleh semua elemen di negeri ini, yaitu
berkisara antar tahun 1983 – 1984 yang seacara berturut – turut, pesantren ini
menjadi tempat dihelatnya Munas alim ulama dan muktamar NU pada waktu itu.
Tidak
cukup sampai disana, perjuangan pesantren ini untuk menjaga eksistensi Nahdlatul
Ulama sebagai jamiah terus dilakukan oleh para pengasuh dan santri yang secara
nyata berada dibarisan pertama dalam memeperjuangkan nilai – nilai keislamana
yang dianut oleh Nahdlatul Ulama itu sendiri. Berbagai usaha baik melalui lahan
formal ataupun non formal mereka lakukan, dan hasilnya keberadaan pondok dan NU
sampai saat ini bisa kita rasakan sendiri. Lantas. pertanyaannya sekarang,
apakah kita sudah ada diposisi itu.
Kita
sebagai santri masa kini, tentunya juga dituntut untuk tidak hanya terlena
dengan semua kenangan manis keberadaan pesantren dengan Nahdlatul Ulama secara
organisasi dimasa lalu. Santri salafiyah syafi’iyah merupakan kader Nahdlatul
Ulama yang akan berusaha untuk menjaga dan mengembangkan organisasi terbesar
ini dijaman – jaman mendatang. Nahdlatul Ulama adalah harga mati, karena
organisasi inilah yang secara tegas tersirat dalam wasiat almaghfurllah KHR.
AS’ad Syamsul arifin. Segala upaya harus kita lakukan semasa kita berstatus
santri dipesantren ini dan tatkala kita sudah berada ditengah masyarakat.
Namun
keberadaan yang seharusnya dilakukan dipesantren ini untuk mendalami islam
ahlusunnah wal jamaah dan ke NU an sangat jauh panggang diatas api. Akhir –
akhir ini sangat sulit ketika kita ingin mencari forum diskusi pojok kampus
atau semacamnya yang membahas ke NU an dan ahlusunnah wal jamaah, atau bahkan
sama sekali sangat sulit mencari forum diskusi dipondok ini. Hal ini sangatlah
berbanding terbalik dengan kegemaran santri bermain internet atau melototi lap
top dan komputernya di laboratorium yang sudah disedikan oleh pesantren, dan
yang lebih riskan lagi, santri lebih memilih duduk didepan keamanan mengahadap
ke barat sambil menikmati suguhan yang diberika oleh TV nasional. Di Pojok
kampus, pojok masjid sangat mudah menemukan anak – anak yang bermain kejar –
kejaran dan sangat sulit untuk menemukan adanya lingkaran yang membahas
keilmuan (forum diskusi). Bahkan usaha yang dilakukan pengurus pusat IKSASS
untuk menumbuhkan forum diskusi ke aswajaan yang dilakukan setiap malam jum’at,
pesertanya tidak lebih dari jumlah jari tangan dan kaki.
Dilain
pihak ketika musim bola, perbincangan santri sangat serius kalau sudah membahas
bola, tapi dikeadaan yang berbeda, ketika paham ahlusunnah wal jama’ah yang
diperjuangkan Nahdlatul Ulama terusik, keberadaan pesantren adem ayem saja,
tidak ada yang gundah apalagi serius membahas kejadian itu. Padahal hampir
setiap pagi, KHR. Ach. Azaim Ibrahimy, menghimbau santri, pengurus pesantren,
guru dan semua elemen dipesantren ini, untuk bagaimana bisa memikirkan akidah
islam ahlusunnah wal jama’ah.
Sekilas
gambaran diatas membuat kita yang mengerti dan paham terhadap status kita
(santrinya kiai as’ad yang harus menjalani wasiat beliau) sedikit sesak napas
terhadap hal tersebut. Namun itulah kenyataannya. Dan itulah tantangan bagi
kita semua, bagaimana bisa memposisikan diri kita benar – benar santrinya kiai
as’ad. Mumpung nasi belum menjadi bubur, marilah kita bersama merubah paradigma
berfikir ini, dari yang mulai terpesona dengan keindahan dibalik usaha untuk
mengkikis aqidah kita ini, bisa kembali sadar terhadap status kita (santrinya
kiai as’ad).
Ada
orang yang bilang, bukannya amalan yang telah dilakukan dipesantren ini
merupakan pengamalan islam ahlusunnah wal jama’ah? Betul, penulis akaui itu,
tapi sadarkah kita, ideology masyarakat NU yang selama ini sagat gampang sekali
dijajah oleh ideologi lain, pada awalnya juga melakukan amalan yang sama dengan
kita yang ada dipeantren. Namun dengan berbagai langkah yang dilakukan oleh
golongan lain tersebut, terutama melalui pendekatan berfikir, mereka bisa
dengan mudah merubah paradigma pemikiran masyarakat NU. Dan pada akhirnya,
tidak menutup kemunmgkinan mereka (golongan diluar NU) akan berani menjajakan
ideologinya kepesantren ini.
Tantangan kita saat ini bukan lagi fisik tapi
sudah pemikiran, oleh karenanya sangat dibutuhkan sekali dipondok pesantren
salafiyah syafi’iyah ini semacam doktrin ke NU an yang tidak hanya doktrin
amaliyah saja, tapi doktrin ke NU an secara falsafi juga harus lebih digiatkan
lagi, baik melalui forum formal, ataupun non formal.
Alhasil,
penulis mengajak pembaca semua untuk merenungi lagi wasiat KHR. As’ad yang ada
dompet masing – masing santri yang berbunyi “santri sukorejo yang keluar dari
NU jangan mengharap berkumpul dengan saya di akhirat”. Kalau kita renungkan
bersama, seandainya banyak santri sukorejo yang keluar dari NU lantaran
kelalaian ketika dipondok, siapa yang akan bertanggung jawab, mereka atau kita
yang tidak mengajak mereka memahami hal tersebut.
*Penulis adalah Ketua
umum PP IKSASS