Sabtu, 01 Juni 2013

Perjuangan Pesantren

NU Dan Pesantren Sukorejo
Oleh: Khairul Anam, S. Pd.I*

Sudah bukan rahasia lagi, keberadaan NU dipondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah ibarat susu dan air yang tidak bisa dipisahkan.  Dilihat dari sosok para kiai. dipondok pesantren ini, pengasuh – pengasuh terdahulu dan yang sekarang sangat erat hubungannya dengan keberadaan NU, KHR. As’ad sampai mewasiatkan kepada santrinya agar dakwah melalui NU. KHR. Ach. Fawaid As’ad dalam suatu kesempatan pernah berdawuh “se engko’ mulaen dere, somsom, tolang area NU” (saya ini, mulai dari darah, sumsum, tolang adalah NU). Sedangkan pengasuh yang keempat. KHR. Ach. Azaim Ibrahimy, sangan giat sekali berdakwah untuk menjaga nilai – nilai islam ahlusunnah wal jama’ah sebagaimana yang selama ini diperjuangkan NU.
Dilihat dari sisi historis sumbangsih keberadaan pondok dengan keberadaan institusi Nahdlatul Ulama juga sejalan dengan apa yang diperjuangkan oleh para pengasuh pondok pesantren salafiyah syafi’iyah. Mulai dari KHR. As’ad secara perorangan menjadi mediator berdirinya NU, sampai pada pesantren secara kelembagaan menjadi tempat memurnikan kembali perjuangan Nahdlatul Ulama dan menyelamatkan ideologi negara (pancasila) agar dapat diterima oleh semua elemen di negeri ini, yaitu berkisara antar tahun 1983 – 1984 yang seacara berturut – turut, pesantren ini menjadi tempat dihelatnya Munas alim ulama dan muktamar NU pada waktu itu.
Tidak cukup sampai disana, perjuangan pesantren ini untuk menjaga eksistensi Nahdlatul Ulama sebagai jamiah terus dilakukan oleh para pengasuh dan santri yang secara nyata berada dibarisan pertama dalam memeperjuangkan nilai – nilai keislamana yang dianut oleh Nahdlatul Ulama itu sendiri. Berbagai usaha baik melalui lahan formal ataupun non formal mereka lakukan, dan hasilnya keberadaan pondok dan NU sampai saat ini bisa kita rasakan sendiri. Lantas. pertanyaannya sekarang, apakah kita sudah ada diposisi itu.
Kita sebagai santri masa kini, tentunya juga dituntut untuk tidak hanya terlena dengan semua kenangan manis keberadaan pesantren dengan Nahdlatul Ulama secara organisasi dimasa lalu. Santri salafiyah syafi’iyah merupakan kader Nahdlatul Ulama yang akan berusaha untuk menjaga dan mengembangkan organisasi terbesar ini dijaman – jaman mendatang. Nahdlatul Ulama adalah harga mati, karena organisasi inilah yang secara tegas tersirat dalam wasiat almaghfurllah KHR. AS’ad Syamsul arifin. Segala upaya harus kita lakukan semasa kita berstatus santri dipesantren ini dan tatkala kita sudah berada ditengah masyarakat.
Namun keberadaan yang seharusnya dilakukan dipesantren ini untuk mendalami islam ahlusunnah wal jamaah dan ke NU an sangat jauh panggang diatas api. Akhir – akhir ini sangat sulit ketika kita ingin mencari forum diskusi pojok kampus atau semacamnya yang membahas ke NU an dan ahlusunnah wal jamaah, atau bahkan sama sekali sangat sulit mencari forum diskusi dipondok ini. Hal ini sangatlah berbanding terbalik dengan kegemaran santri bermain internet atau melototi lap top dan komputernya di laboratorium yang sudah disedikan oleh pesantren, dan yang lebih riskan lagi, santri lebih memilih duduk didepan keamanan mengahadap ke barat sambil menikmati suguhan yang diberika oleh TV nasional. Di Pojok kampus, pojok masjid sangat mudah menemukan anak – anak yang bermain kejar – kejaran dan sangat sulit untuk menemukan adanya lingkaran yang membahas keilmuan (forum diskusi). Bahkan usaha yang dilakukan pengurus pusat IKSASS untuk menumbuhkan forum diskusi ke aswajaan yang dilakukan setiap malam jum’at, pesertanya tidak lebih dari jumlah jari tangan dan kaki.
Dilain pihak ketika musim bola, perbincangan santri sangat serius kalau sudah membahas bola, tapi dikeadaan yang berbeda, ketika paham ahlusunnah wal jama’ah yang diperjuangkan Nahdlatul Ulama terusik, keberadaan pesantren adem ayem saja, tidak ada yang gundah apalagi serius membahas kejadian itu. Padahal hampir setiap pagi, KHR. Ach. Azaim Ibrahimy, menghimbau santri, pengurus pesantren, guru dan semua elemen dipesantren ini, untuk bagaimana bisa memikirkan akidah islam ahlusunnah wal jama’ah.
Sekilas gambaran diatas membuat kita yang mengerti dan paham terhadap status kita (santrinya kiai as’ad yang harus menjalani wasiat beliau) sedikit sesak napas terhadap hal tersebut. Namun itulah kenyataannya. Dan itulah tantangan bagi kita semua, bagaimana bisa memposisikan diri kita benar – benar santrinya kiai as’ad. Mumpung nasi belum menjadi bubur, marilah kita bersama merubah paradigma berfikir ini, dari yang mulai terpesona dengan keindahan dibalik usaha untuk mengkikis aqidah kita ini, bisa kembali sadar terhadap status kita (santrinya kiai as’ad).
Ada orang yang bilang, bukannya amalan yang telah dilakukan dipesantren ini merupakan pengamalan islam ahlusunnah wal jama’ah? Betul, penulis akaui itu, tapi sadarkah kita, ideology masyarakat NU yang selama ini sagat gampang sekali dijajah oleh ideologi lain, pada awalnya juga melakukan amalan yang sama dengan kita yang ada dipeantren. Namun dengan berbagai langkah yang dilakukan oleh golongan lain tersebut, terutama melalui pendekatan berfikir, mereka bisa dengan mudah merubah paradigma pemikiran masyarakat NU. Dan pada akhirnya, tidak menutup kemunmgkinan mereka (golongan diluar NU) akan berani menjajakan ideologinya kepesantren ini.
 Tantangan kita saat ini bukan lagi fisik tapi sudah pemikiran, oleh karenanya sangat dibutuhkan sekali dipondok pesantren salafiyah syafi’iyah ini semacam doktrin ke NU an yang tidak hanya doktrin amaliyah saja, tapi doktrin ke NU an secara falsafi juga harus lebih digiatkan lagi, baik melalui forum formal, ataupun non formal.
Alhasil, penulis mengajak pembaca semua untuk merenungi lagi wasiat KHR. As’ad yang ada dompet masing – masing santri yang berbunyi “santri sukorejo yang keluar dari NU jangan mengharap berkumpul dengan saya di akhirat”. Kalau kita renungkan bersama, seandainya banyak santri sukorejo yang keluar dari NU lantaran kelalaian ketika dipondok, siapa yang akan bertanggung jawab, mereka atau kita yang tidak mengajak mereka memahami hal tersebut.

*Penulis adalah Ketua umum PP IKSASS

Karakteristik Pesantren

Pesantren dan Aktualisasi Kehidupan Sederhana dan Mandiri
Oleh : Khairul Anam (Ketua Umum PP. IKSASS Periode IV)
Pondok Pesantren  merupakan alternatif lembaga pendidikan yang ada di indonesia yang ditawarkan oleh para ulama indonesia sebagai sumbangsih mereka dalam membangun bangsa ini, baik dari ilmu pengetahuan, penguatan sosial, dan yang lebih utama adalah dibidang penanaman ilmu agama islam. Dalam perkembangannya, Pesantren telah membuktikan kepada negeri ini tentang sumbangsih apa saja yang telah diberikan. Lantas selanjutnya akan timbul pertanyaan, mengapa keberadaan pesantren yang notabenenya adalah pendidikan alternatif  bisa bertahan dan mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang tantangannya sangat jauh berbeda (mulai dari sebelum indonesia merdeka sampai sekarang).
Nampaknya tidak banyak kalangan yang mengetahui semua penyebab yang bisa mempertahankan pesantren dari ancaman perkembangan zaman baik dibidang ekonomi, politik, hingga keamanan. Jika kita mau menelaah keberadaan kehidupan pesantren, ada dua hal yang sangat berbeda yang gampang sekali ditemukan untuk membandingkan dengan lembaga alternatif diluar pesantren, yaitu: kesederhanaan dan kemandirian
Pertama, kesederhanan. Prinsip ini merupakan prinsip yang dijadikan modal oleh pesantren dalam mengembangkan sistem yang ada didalamnya. Dengan prinsip kesederhanaan ini, pesantren bisa membentengi diri dari serangan pengaruh global yang kebanyakan telah melunturkan ideologi beberapa tatanan masyarakat yang ada dinegeri ini. mislanya tidak sedikit pola hidup yang ada dimasyarakat umum sekarang sudah tidak menggambarkan lagi kehidupan yang bernilai indonesia yang sangat sederhana dan gotong royong. Gaya hidup hedonis (bermewah – mewahan) ada dimana – mana, persaingan tidak sehat dalam segala aspek kehidupan tidak jarang kita temukan, ini dibuktikan dengan maraknya pelaku pidana, baik pidana kaum rendahan (pencurian) hingga pidana kaum elit (korupsi). Mengapa hal itu terjadi...? mungkin jawaban yang langsung terlintas adalah “karena tuntutan ekonomi”. Namun perlu diingat seorang elit negeri ini kenapa masih melakukan tindak korupsi? Hal ini terjadi karena hidup hedonis yang mereka terapkan dalam kesehariannya, mereka tidak merasa puas terhadap apa yang mereka miliki sehingga mereka ingin memperkaya diri dengan cara yang demikian tersebut. Konsep kesederhanaan inilah yang telah mulai terkikis oleh eksodus dunia barat, dengan dalih perekonomian global dunia barat bisa mempengaruhi ideologi kesederhanaan yang telah lama tertanam dalam jiwa masyarakat indonesia khususnya masyarakat pesantren. Inilah tantangan yang sedang dan akan terus dihadapi oleh pesantren, pesantren telah ditantang apakah tetap bisa menjaga nilai kesederhanaan yang telah dicontohkon oleh ulama – ulama sebelumnya bahkan kesederhanaan ini juga sangat dicontohkan oleh rasulullah SAW dan sahabatanya. Jika ada pesantren yang sudah kecolongan dalam mempertahankan prinsip kesederhanaan ini, maka jangan harap pesantren tersebut akan eksis secara esesnsial ditengah masayarakat. Marilah kita jaga pondok pesantren salafiyah syafi’iyah ini dari gaya hidup hedonis yang akan melunturkan sedikit demi sedikit terhadap prinsip kesederhanaan yang susah payang telah dibangun dicontohkan oleh  guru – guru kita.
Kedua, kemandirian. Prinsip kemandirian ini merupakan prinsip dasar keberadaan pesantren yang ada dinusantara, baik kepribadian secara institusi maupun prinsip kepribadian person yang dimiliki oleh para pelaku pesantren (mulai dari kiai, ustadz dan santri). Dari prinsip kehidupan mandiri yang dianut pesantren secara institusi, gusdur (136:2010) berpendapat bahawa watak mandiri yang yang dimilki pesantren dapat dilihat dari dua sudut pandang: dari fungsi kemasyarakatan pesantren secara umum, dan dari pola pendidikan yang ada didalamnya. Disadari bersama bahwa dari masa ke masa pola pendidikan yang dilakukan pesantren tetap bisa eksis bahkan berkembang, hal ini dilatar belakangi karena peantren secara umum tidak menggantungkan nasibnya  terhadap intitusi – institusi pemerintah ataupun swasta, dengan prinsip mandiri yang murni seorang kiai bisa mengembangkan pesantren yang diasuhnya hingga bisa mencetak santri yang bisa bersaing dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Selain dilihat dari intitusi kelambagaan pesantren tentang kehidupan mandiri, kemandirian yang diterapkan oleh santri yang menuntut ilmu dipesantren juga merupakan faktor yang menunjang terhadap keberadaan pesantren itu sendiri. Kita lihat saja perkemabangan pondok pesantren salafiyah syafi’iyah ini, yang notabenenya santri dari kalangan ekonomi kebawah masih bisa mempertahankan sistem pendidikan yang ada didalamnya, tak lain dipengaruhi oleh sikap mandiri yang telah lama tertanam di diri masing – masing santri. Santri yang belajar dipondok pesantren sangat minim menerima semacam bantuan dari luar institusi banyak santri yang berprinsip hidup mandiri bisa menempuh pendidikannya sampai selesai. Juga, sikap mandiri ini bisa dilihat dari produk pesnatren itu sendiri, tidak sedikit para santri yang sudah selesai menempuh pendidikan dipesantren, dengan dilandasi perjuangan menghidupkan ilmu agama dan dengan tekad kemandirian yang tinggi dapat mendirikan atau mengembangkan suatu pesantren kecil yang ada disekitar tempat tinggalnya. Sungguh sangat naif sekali jika prinsip kemandirian pesantren ini luntur termakan oleh jaman dengan dalih mengurangi beban institusi ataupun pribadi sebuah pesantren akan kehilangan nilai – nilai kepesantrenan yang telah lama ditanamn oleh penggagas dan para ulama yang memimpin pondok pesantren.
Akhirnya. Penulis hanya bisa berharap agar pondok pesantren salafiyah syafi’iyah ini bisa menjaga prinsip – prinsip yang telah lama ditanam oleh guru – guru kita semua, sehingga akan menghasilkan output yang tangguh dan bisa bersaing dan dapat bersama – sama membangun masyarakat ketika kelak telah pulang. Dan bisa menjaga keberadaan pesantren secara esensial tetap bisa dirasakan oleh masyarakat luas dengan ciri utama santri yang berkehidupan sederhana dan mandiri.