Sabtu, 01 Juni 2013

Perjuangan Pesantren

NU Dan Pesantren Sukorejo
Oleh: Khairul Anam, S. Pd.I*

Sudah bukan rahasia lagi, keberadaan NU dipondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah ibarat susu dan air yang tidak bisa dipisahkan.  Dilihat dari sosok para kiai. dipondok pesantren ini, pengasuh – pengasuh terdahulu dan yang sekarang sangat erat hubungannya dengan keberadaan NU, KHR. As’ad sampai mewasiatkan kepada santrinya agar dakwah melalui NU. KHR. Ach. Fawaid As’ad dalam suatu kesempatan pernah berdawuh “se engko’ mulaen dere, somsom, tolang area NU” (saya ini, mulai dari darah, sumsum, tolang adalah NU). Sedangkan pengasuh yang keempat. KHR. Ach. Azaim Ibrahimy, sangan giat sekali berdakwah untuk menjaga nilai – nilai islam ahlusunnah wal jama’ah sebagaimana yang selama ini diperjuangkan NU.
Dilihat dari sisi historis sumbangsih keberadaan pondok dengan keberadaan institusi Nahdlatul Ulama juga sejalan dengan apa yang diperjuangkan oleh para pengasuh pondok pesantren salafiyah syafi’iyah. Mulai dari KHR. As’ad secara perorangan menjadi mediator berdirinya NU, sampai pada pesantren secara kelembagaan menjadi tempat memurnikan kembali perjuangan Nahdlatul Ulama dan menyelamatkan ideologi negara (pancasila) agar dapat diterima oleh semua elemen di negeri ini, yaitu berkisara antar tahun 1983 – 1984 yang seacara berturut – turut, pesantren ini menjadi tempat dihelatnya Munas alim ulama dan muktamar NU pada waktu itu.
Tidak cukup sampai disana, perjuangan pesantren ini untuk menjaga eksistensi Nahdlatul Ulama sebagai jamiah terus dilakukan oleh para pengasuh dan santri yang secara nyata berada dibarisan pertama dalam memeperjuangkan nilai – nilai keislamana yang dianut oleh Nahdlatul Ulama itu sendiri. Berbagai usaha baik melalui lahan formal ataupun non formal mereka lakukan, dan hasilnya keberadaan pondok dan NU sampai saat ini bisa kita rasakan sendiri. Lantas. pertanyaannya sekarang, apakah kita sudah ada diposisi itu.
Kita sebagai santri masa kini, tentunya juga dituntut untuk tidak hanya terlena dengan semua kenangan manis keberadaan pesantren dengan Nahdlatul Ulama secara organisasi dimasa lalu. Santri salafiyah syafi’iyah merupakan kader Nahdlatul Ulama yang akan berusaha untuk menjaga dan mengembangkan organisasi terbesar ini dijaman – jaman mendatang. Nahdlatul Ulama adalah harga mati, karena organisasi inilah yang secara tegas tersirat dalam wasiat almaghfurllah KHR. AS’ad Syamsul arifin. Segala upaya harus kita lakukan semasa kita berstatus santri dipesantren ini dan tatkala kita sudah berada ditengah masyarakat.
Namun keberadaan yang seharusnya dilakukan dipesantren ini untuk mendalami islam ahlusunnah wal jamaah dan ke NU an sangat jauh panggang diatas api. Akhir – akhir ini sangat sulit ketika kita ingin mencari forum diskusi pojok kampus atau semacamnya yang membahas ke NU an dan ahlusunnah wal jamaah, atau bahkan sama sekali sangat sulit mencari forum diskusi dipondok ini. Hal ini sangatlah berbanding terbalik dengan kegemaran santri bermain internet atau melototi lap top dan komputernya di laboratorium yang sudah disedikan oleh pesantren, dan yang lebih riskan lagi, santri lebih memilih duduk didepan keamanan mengahadap ke barat sambil menikmati suguhan yang diberika oleh TV nasional. Di Pojok kampus, pojok masjid sangat mudah menemukan anak – anak yang bermain kejar – kejaran dan sangat sulit untuk menemukan adanya lingkaran yang membahas keilmuan (forum diskusi). Bahkan usaha yang dilakukan pengurus pusat IKSASS untuk menumbuhkan forum diskusi ke aswajaan yang dilakukan setiap malam jum’at, pesertanya tidak lebih dari jumlah jari tangan dan kaki.
Dilain pihak ketika musim bola, perbincangan santri sangat serius kalau sudah membahas bola, tapi dikeadaan yang berbeda, ketika paham ahlusunnah wal jama’ah yang diperjuangkan Nahdlatul Ulama terusik, keberadaan pesantren adem ayem saja, tidak ada yang gundah apalagi serius membahas kejadian itu. Padahal hampir setiap pagi, KHR. Ach. Azaim Ibrahimy, menghimbau santri, pengurus pesantren, guru dan semua elemen dipesantren ini, untuk bagaimana bisa memikirkan akidah islam ahlusunnah wal jama’ah.
Sekilas gambaran diatas membuat kita yang mengerti dan paham terhadap status kita (santrinya kiai as’ad yang harus menjalani wasiat beliau) sedikit sesak napas terhadap hal tersebut. Namun itulah kenyataannya. Dan itulah tantangan bagi kita semua, bagaimana bisa memposisikan diri kita benar – benar santrinya kiai as’ad. Mumpung nasi belum menjadi bubur, marilah kita bersama merubah paradigma berfikir ini, dari yang mulai terpesona dengan keindahan dibalik usaha untuk mengkikis aqidah kita ini, bisa kembali sadar terhadap status kita (santrinya kiai as’ad).
Ada orang yang bilang, bukannya amalan yang telah dilakukan dipesantren ini merupakan pengamalan islam ahlusunnah wal jama’ah? Betul, penulis akaui itu, tapi sadarkah kita, ideology masyarakat NU yang selama ini sagat gampang sekali dijajah oleh ideologi lain, pada awalnya juga melakukan amalan yang sama dengan kita yang ada dipeantren. Namun dengan berbagai langkah yang dilakukan oleh golongan lain tersebut, terutama melalui pendekatan berfikir, mereka bisa dengan mudah merubah paradigma pemikiran masyarakat NU. Dan pada akhirnya, tidak menutup kemunmgkinan mereka (golongan diluar NU) akan berani menjajakan ideologinya kepesantren ini.
 Tantangan kita saat ini bukan lagi fisik tapi sudah pemikiran, oleh karenanya sangat dibutuhkan sekali dipondok pesantren salafiyah syafi’iyah ini semacam doktrin ke NU an yang tidak hanya doktrin amaliyah saja, tapi doktrin ke NU an secara falsafi juga harus lebih digiatkan lagi, baik melalui forum formal, ataupun non formal.
Alhasil, penulis mengajak pembaca semua untuk merenungi lagi wasiat KHR. As’ad yang ada dompet masing – masing santri yang berbunyi “santri sukorejo yang keluar dari NU jangan mengharap berkumpul dengan saya di akhirat”. Kalau kita renungkan bersama, seandainya banyak santri sukorejo yang keluar dari NU lantaran kelalaian ketika dipondok, siapa yang akan bertanggung jawab, mereka atau kita yang tidak mengajak mereka memahami hal tersebut.

*Penulis adalah Ketua umum PP IKSASS

Karakteristik Pesantren

Pesantren dan Aktualisasi Kehidupan Sederhana dan Mandiri
Oleh : Khairul Anam (Ketua Umum PP. IKSASS Periode IV)
Pondok Pesantren  merupakan alternatif lembaga pendidikan yang ada di indonesia yang ditawarkan oleh para ulama indonesia sebagai sumbangsih mereka dalam membangun bangsa ini, baik dari ilmu pengetahuan, penguatan sosial, dan yang lebih utama adalah dibidang penanaman ilmu agama islam. Dalam perkembangannya, Pesantren telah membuktikan kepada negeri ini tentang sumbangsih apa saja yang telah diberikan. Lantas selanjutnya akan timbul pertanyaan, mengapa keberadaan pesantren yang notabenenya adalah pendidikan alternatif  bisa bertahan dan mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang tantangannya sangat jauh berbeda (mulai dari sebelum indonesia merdeka sampai sekarang).
Nampaknya tidak banyak kalangan yang mengetahui semua penyebab yang bisa mempertahankan pesantren dari ancaman perkembangan zaman baik dibidang ekonomi, politik, hingga keamanan. Jika kita mau menelaah keberadaan kehidupan pesantren, ada dua hal yang sangat berbeda yang gampang sekali ditemukan untuk membandingkan dengan lembaga alternatif diluar pesantren, yaitu: kesederhanaan dan kemandirian
Pertama, kesederhanan. Prinsip ini merupakan prinsip yang dijadikan modal oleh pesantren dalam mengembangkan sistem yang ada didalamnya. Dengan prinsip kesederhanaan ini, pesantren bisa membentengi diri dari serangan pengaruh global yang kebanyakan telah melunturkan ideologi beberapa tatanan masyarakat yang ada dinegeri ini. mislanya tidak sedikit pola hidup yang ada dimasyarakat umum sekarang sudah tidak menggambarkan lagi kehidupan yang bernilai indonesia yang sangat sederhana dan gotong royong. Gaya hidup hedonis (bermewah – mewahan) ada dimana – mana, persaingan tidak sehat dalam segala aspek kehidupan tidak jarang kita temukan, ini dibuktikan dengan maraknya pelaku pidana, baik pidana kaum rendahan (pencurian) hingga pidana kaum elit (korupsi). Mengapa hal itu terjadi...? mungkin jawaban yang langsung terlintas adalah “karena tuntutan ekonomi”. Namun perlu diingat seorang elit negeri ini kenapa masih melakukan tindak korupsi? Hal ini terjadi karena hidup hedonis yang mereka terapkan dalam kesehariannya, mereka tidak merasa puas terhadap apa yang mereka miliki sehingga mereka ingin memperkaya diri dengan cara yang demikian tersebut. Konsep kesederhanaan inilah yang telah mulai terkikis oleh eksodus dunia barat, dengan dalih perekonomian global dunia barat bisa mempengaruhi ideologi kesederhanaan yang telah lama tertanam dalam jiwa masyarakat indonesia khususnya masyarakat pesantren. Inilah tantangan yang sedang dan akan terus dihadapi oleh pesantren, pesantren telah ditantang apakah tetap bisa menjaga nilai kesederhanaan yang telah dicontohkon oleh ulama – ulama sebelumnya bahkan kesederhanaan ini juga sangat dicontohkan oleh rasulullah SAW dan sahabatanya. Jika ada pesantren yang sudah kecolongan dalam mempertahankan prinsip kesederhanaan ini, maka jangan harap pesantren tersebut akan eksis secara esesnsial ditengah masayarakat. Marilah kita jaga pondok pesantren salafiyah syafi’iyah ini dari gaya hidup hedonis yang akan melunturkan sedikit demi sedikit terhadap prinsip kesederhanaan yang susah payang telah dibangun dicontohkan oleh  guru – guru kita.
Kedua, kemandirian. Prinsip kemandirian ini merupakan prinsip dasar keberadaan pesantren yang ada dinusantara, baik kepribadian secara institusi maupun prinsip kepribadian person yang dimiliki oleh para pelaku pesantren (mulai dari kiai, ustadz dan santri). Dari prinsip kehidupan mandiri yang dianut pesantren secara institusi, gusdur (136:2010) berpendapat bahawa watak mandiri yang yang dimilki pesantren dapat dilihat dari dua sudut pandang: dari fungsi kemasyarakatan pesantren secara umum, dan dari pola pendidikan yang ada didalamnya. Disadari bersama bahwa dari masa ke masa pola pendidikan yang dilakukan pesantren tetap bisa eksis bahkan berkembang, hal ini dilatar belakangi karena peantren secara umum tidak menggantungkan nasibnya  terhadap intitusi – institusi pemerintah ataupun swasta, dengan prinsip mandiri yang murni seorang kiai bisa mengembangkan pesantren yang diasuhnya hingga bisa mencetak santri yang bisa bersaing dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Selain dilihat dari intitusi kelambagaan pesantren tentang kehidupan mandiri, kemandirian yang diterapkan oleh santri yang menuntut ilmu dipesantren juga merupakan faktor yang menunjang terhadap keberadaan pesantren itu sendiri. Kita lihat saja perkemabangan pondok pesantren salafiyah syafi’iyah ini, yang notabenenya santri dari kalangan ekonomi kebawah masih bisa mempertahankan sistem pendidikan yang ada didalamnya, tak lain dipengaruhi oleh sikap mandiri yang telah lama tertanam di diri masing – masing santri. Santri yang belajar dipondok pesantren sangat minim menerima semacam bantuan dari luar institusi banyak santri yang berprinsip hidup mandiri bisa menempuh pendidikannya sampai selesai. Juga, sikap mandiri ini bisa dilihat dari produk pesnatren itu sendiri, tidak sedikit para santri yang sudah selesai menempuh pendidikan dipesantren, dengan dilandasi perjuangan menghidupkan ilmu agama dan dengan tekad kemandirian yang tinggi dapat mendirikan atau mengembangkan suatu pesantren kecil yang ada disekitar tempat tinggalnya. Sungguh sangat naif sekali jika prinsip kemandirian pesantren ini luntur termakan oleh jaman dengan dalih mengurangi beban institusi ataupun pribadi sebuah pesantren akan kehilangan nilai – nilai kepesantrenan yang telah lama ditanamn oleh penggagas dan para ulama yang memimpin pondok pesantren.
Akhirnya. Penulis hanya bisa berharap agar pondok pesantren salafiyah syafi’iyah ini bisa menjaga prinsip – prinsip yang telah lama ditanam oleh guru – guru kita semua, sehingga akan menghasilkan output yang tangguh dan bisa bersaing dan dapat bersama – sama membangun masyarakat ketika kelak telah pulang. Dan bisa menjaga keberadaan pesantren secara esensial tetap bisa dirasakan oleh masyarakat luas dengan ciri utama santri yang berkehidupan sederhana dan mandiri.

Rabu, 20 Maret 2013

Ghazwul Fikr


By Syaiful Rijal
(sekretaris bidang SDM & INFOKOM)
               Sebagian orang beranggapan bahwa awal mula perang pemikiran (ghazwul fikr) terjadi pada tahun 661-M pasca kekhalifahan sayyidina Ali yang ditimbulkan dari permasalahan politik, hingga akhirnya meningkat menjadi persoalan teologi. Ada juga yang beranggapan bahwa embrio perang pemikiran terjadi pasca perang salib dan diyakini bahwa perang pemikiran adalah kelanjutan dari perang salib.
Alasan pertama landasannya kuat, seperti kita ketahui bersama bahwa pasca kehalifahan sayyidina ali ummat islam pecah menjadi tiga golongan yakni khawarij, murji’ah dan mu’tazilah. Khawarij adalah pengikut ali yang keluar dan mimisahkan diri (seceders) karena menganggap Ali bin Abi Talib bersalah dan berdosa karena menerima tawaran arbitrase dari pihak muawiyah atau lebih pasnya membuat hukum yang selain dari Allah, khawarij memandang bahwa Abu musa al-asy’ari (pendukung ali) dan Amr ibn al-as (pendukung muawiyah),muawiyah dan Ali ibn Abi Talib kafir karena berlandaskan surat Al-maidah (5)-44, dari sinilah timbul persoalan siapa yang kafir dan bukan kafir yang selanjutnya muncul sekte-sekte seperti murji’ah dan muktazilah yang selisih pendapat terkait masalah kafir dan dosa besar.
Alasan kedua masih menimbulkan pertanyaan besar, apakah benar perang pemikiran ditubuh islam ini adalah kelanjutan atau bagian dari perang salib?, pertanyaan ini muncul karena anggapan kedua berasal dari umat islam yang sejak dari dulu memang bermusuhan dengan ummat keresten yang sama-sama mempunyai konsep perang, permasalahan ini juga menjadi pro dan kontra dikalangan ummat islam sendiri.
Oleh karena itu, sudah seharusnya ummat islam was-was dengan munculnya perang pemikiran ini meskipun kedua anggapan diatas masih abu-abu karena kenyataannya perang pemikiran, khususnya di indonesia  semakin hari semakin memanas, hingga naik status menjadi kekerasan mengatas namakan agama bahkan tak segan-segan saling mengkafirkan dan saling membunuh. Sehingga ummat islam khususnya di indonesia berpecah belah karena ideologi yang tak sejalan.
 Sebenarnya kenyataan ini telah lama disinyalir oleh rosulullah S.A.W, baginda nabi Muhammad SAW bersabda “jibril telah datang kepadaku seraya mengatakan “wahai muhammad, umatmu kelak berpecah belah sesudahmu” lalu baginda nabi SAW bertanya “dimanakah jalan keluarnya wahai jibril” malaikat jibrilpun menjawab “di dalam kitabullah, yang dengannya Allah membinasakan setiap orang yang bertindak lalim, siapa yang berpegang teguh dengannya maka selamat, dan siapa yang meninggalkannya maka celaka, kitabullah adalah firman yang memisah antara kebenaran dan kebatilan, bukan gurauan, tidak menjadi usang oleh lisan, dan keajaibannya tidak akan sirna. Didalamnya terdapat berita tentang peristiwa sebelum kalian, keputusan hukum yang sedang terjadi diantara kalian, dan kabar berita setelah kalian”
Hadist riwayat imam Ahmad ini menjadi benteng terahir bagi kita, dan selanjutnya menjadi tugas santri sebagai talabul ilmi, Oleh karena itu kita mempunyai beban yang berat yang harus kita pikul dimasyarakat nanti, selain menjaga akidah masyarakat agar tetap berhaluan ahlussunah waljamaah kita juga dituntut menjaga diri kita agar tidak kalah dalam perang pemikiran ini.

Senin, 15 Oktober 2012

NU dan Pesantren


NU dan Pesantren  (wawancara gus AAB jember)
Bagaimana hubungan NU dan Pesantren?
Pertama NU dan pesantren ibarat dua sisi mata uang, antara satu dengan yang lain tidak dapat dipisah. Pesantren ini adalah miniatur NU dan NU bisa diibaratkan sebagai pesantren besar, memang tidak bisa dipisahkan, harus saling berkaitan, karena kalau kita lihat sejarah berdirinya NU, diawali dengan rencana adanya pertemuan / kongres umat islam di saudi arabia tahun 1925, pada waktu itu setahun setelah dibubarnya khilafah islamiyah diturki. Kemudian dari indonesia direncanakan ada delegasi, waktu itu pada masa pemerintahan hindia belanda, yang pertama,KH.Mas Mansur Mewakili Muhammadiyah dan KH abdul Wahab Hasbullah Mewakili Kiai Pesantren. waktu itu NU belum menjadi organisasi, tapi lama kelammaan nama Kiai wahab hasbullah batal untuk berangkat ke saudi arabia dengan alasan yang sederhana, yaitu Kiai wahab bukan atas nama organisasi. Kondisi ini cukup menyinggung terhadap perasaan Ulama Pesantren,  sehingga ulama pesantren berkumpul membentuk suatu komite yang bagaimana kiai wahab hasbullah bisa berangakat. Komite itu disebut komite hijaz, dari itu ulama bahu membahu mencari dana bagaimana kiai wahab bisa diberangkatkan dengan mewakili ulama pesantren. makanya kalu akhir2 ini Nu dipelesetka narik urunan, itu aslinya, dan kita harus bangga dari pada NU dipelesetkan nunut urip, karena NU memang dari warga, oleh warga dan unutuk warga. kemudian komite hijaz yang dibentuk untuk memberangkatkan KH. Wahab itu menjasdi embrio berdirinya NU. Jadi memang NU adalah organisasi sosial keagamaan yang didirikan oleh para ulama2 pesantren, degan tujuan utama adalah berlakunya ajaran islam ala ahlusunnah wal jama’ah dalam kehidupan berbangsa dan negara. Cikal bakalnya, memang NU adalh komitmen dari para ulama - ulama pesatren untuk membuat wadah perjuangan dengan tujuan mempertahankan ahlusunnah wal jamaah.
Ada orang bertanya Kenapa NU berdirinya dibelakangan dibanding ormas2 yang lain...?
Sebetulnya berdirinya NU dibelakang itu adalah berdirinya NU sebagai organisasi, subtansi dan hakikat NU sudah ada bersamaan dengan masuknya islam ke indonesia itu sendiri. Karena yang diperjuangkan oleh NU adalah tipikal keagamaan  sebagaimana dipraktekkan dan dikembangkan di indonesia. Sebagaimana disampaikan oleh Kh. Hasim As’ari didalam risalah ahlusunnah wal jama’ah beliau mengatakan “orang – orang islam diindonesia pada awalanya satu pemikiran dan satu madzhab” yaitu mereka sudah bermadzhab, misalnya dalam bidang fiqh bermadzhab pada salah satu yang empat, tapi pada prakteknya di ind hampir mayoritas syafi’i. Pada awalnya umat islam di indonesia ketika melaksanakan ajaran agama islam yang sebagaimana dibawakan oleh walisongo ya seperti itu satu kesatuan. Baru kemudian pada abad XX tahun 1900 kalau dikonon asasi disebutkan tahun 1330-an jadi 14 tahun sebelum NU lahir, pada tahun itu mulai muncul gerakan - gerakan reformasi keagamaan yag diusung oleh orang 2 yang pulang dari saudi arabi. Ketika keberadaan kelompok - kelompok “pembaharu” mengancam terhadap eksistensi aswaja yang dipertahakan dan dikenbangkan oleh para umat islam indonesia dengan mewarisi degan apa yang dibawa wali songo,baru pada masa itu dirasa perlu menjadi sebuah organisasi yang diprakarsai oleh ulama - ulama pesantren.
Oleh karena itu muncul pertayaan, bagaimana mempertahankan ahlusunnah wal jamaah? Secara tehnis doktrinannya di pesantren, dan dikembangkan di pesatren, dan organisasi yang mewadahi adalah NU.

Pertanyaan………………
Ajaran2 yang dikembangkan oleh NU sebagai upaya dalam membentengi aswaja, semuanya digodok di pesantren, dikembangkan dan diajarkan dipesantren. Dan di dalam NU itu sendiri kalau kita lihat, kenapa NU itu bernama nahdlatul ulama(kebangkitan ulama) kok bukan kebangkitan umat? Karena kebangkitan umat yang diharapkan adalah berbasis pada kebangkitan ulama, kalau ulama’nya sudah bangkit, dan berdaya maka dengan sendirinya umatnya akan bangkit dan berdaya. Ah ketika berbicara ulama, ulama adalah tokoh - tokoh pesantren.oleh kaerena itu didalam kepengurusan  NU dimana posisi ulam itu sendiri?, ini kan tergambar dalam pola strutur  kepengurusan di NU yang disitu ada dua lembaga, ada syuriah ada tanfidziyah. Nah suriah ini sebagai penentu kebijakan didalam  perjalanan nu , itu semuanya dipegang oleh ulama- ulama  pesantren dimasing2 cabang, lah telah menjadi aturan tidak tertulis bahwab pengurus2 suriah disemua cabang adalah ulama - ulama pesantren. Apalaghi rois suriah pada prakteya semuanya adalah pengasuh pesantren. Jadi ini menendakan bahwa NU organisasi kiai - kiai pesantren

Pada tahun 1922, sewaktu kongres islam di Cirebon terjadi panggung kafir mengkafirkan. Pada waktu itu pula Kiai Wahab Hasbullah mengusulkan kepada Kiai Hasyim Asy’ari untuk membentuk sebuah organisasi untuk menampung ulama –ulama tradisional, hanya saja usulan Kiai wahab Hasbullah tesebut di tolak dengan Kiai Hayim Asy’ari,kira menurut Kiai factor-faktor yang mempengaruhi penolakan usulan tersebut apa?
Karena memang ancaman sudah ada, tapi waktu itu kan belum dipandang sangat mendesak untuk mendirikan organisasi, tapi ketika pengalaman pahit dialami bahwa beberapa hal yang terkait dengan hubungan ulama  pesantren dengan pihak luar menjadi terkendala ketika tidak ada sebuah wadah yang resmi maka pada saat itulah NU berdiri, ini kan bermula dari kegagalan berangkatnya Kh. Wahab hasbullah yang kemudian dilanjutkan dengan terbentuknya komite hijaz, dan komite hijaz tepatnya pada tanggal 31 januari 1926 disahkan sebagai organisasi

Pertanyaan sofyan...............
Tidak bisa dipisahkan kedua2nya, jadi bagaimana  menanamkan komitmen, loyalitas terhadap perjuanagan islam dan dakwah itu kan juga melalui pendidikan . salah satu proses utamanya adalah pendidikan. Karena perilaku keagaaman diawali degan kesadaran keagamaaan, kesadaran keagamaan dimulai dengan pemahaman keagamaan, pemahaman kegamaan diawali dengan pengalaman keagamaan dan pengalaman keagamaan diawali dengan pengetahuan keagamaan, jadi posisi pesantren yang paling  banyak berperan seabgai media untuk berjuang. Sehingga kalau kita lihat sekarang, bagaimana proses penyegaran / penguatan dakwah yang menjadi bagian dari NU melalui proses  kultural, kulturar itu salah satunya kan melalui pembenahan masing - masing individu dulu menjadi orang yang mempunyai kesalehan individu, sehingga dari kesalehan individu ini, akan membentuk kesalehan sosial, proses pembentukan kesalehan individu ini melalui pendidikan. Berbeda dengan organisasi lain, kebanyakan di organisasi lain menggunakan dakwah yang melalui perebutan kekuasaan. Semenatara di NU melalui pendidikan dan  perjuangan, dan yang sangat berperan dalam pendidikan di NU adalah pendidikan di pesantren

Pertanyaan.........
Sementara ini, kalau kita lihat hampir semua pesantren di ind haluannya adalah NU, karena memang pendidikan NU lembaganya ada di pesantren. Jadi kita lihat dari ajaran yang dikembangkan. Kalau dilihat dari kitab2 yang diajarakan adalah sama dengan apa yang menjadi rumusan ahlusunnah wal jama’ah annahdiyah, baik di fiqih, aqidah dan tasawuf. Dan pesantren ini juga merupakan pusat pengkaderan NU.

Pertanyaan sofyan.,,,
Kalau kita bisa lihat, adanya sebuah proses kebebasan yang ingin diperoleh oleh kader2 pesantren dalam ranah berfikir. Jadi ada beberapa kader peantren yang ketika keluar pemikirannya menjadi liberal. Ada dua penyebab terjadi hal itu, pertama, karena pergulatan mereka dg dunia luar yang menawarkan sesuatau yang selama ini tidk ditemukan di pesantren. Yang kedua adalah masuknya pemikiran liberal itu ke pesantren yang menawarkan pemikiran2 itu di pesantrean, kita akui bersama, seorang pemuda dijanjikan dg sebuah pemikiran yang bisa mendobrak hegemoni mereka, maka meraka dengan mudah akan tertarik. Saya kira pemikiran seperti itu juga harus direspon secara arif. Disatu sisi memang kebebasan berfikir dan semnagat untuk menngkaji hazanh2 intelektual yang  diwarisi para ulama bagaimana tetap untuk bisa dilestarikan tetapi tetap dibatasi sesuai dengan nilai2 dan tradisi yang ada dipentren. Terkait dengan masuknya pemikiran liberal ke dunia pesantren ini karena menegaskan bahwa kamajuan sains dan tekhnologi yang tidak bisa ditolak tapi harus diimbangi. Kemudian juga dipahami bahwa agar islam menjadi maju, maka. Islam harus menyesuaikan dengan keadaan yang ada termasuk dengan seluruh rangkaian produk2 globalisasi. Nah ketika ada suatu yang tidak sejalan yang terkait dengan persoalan keagamaan, maka mereka memandang doktrin inilah yang harus dilakukan perubahan2. Termasuk pemikiran2 keagamaan yang menolak produk2 globalisasi yang seharusnya dijalankan secara beriringan. Sementara disisi yang lain yang kemudia memperkuat terhadap akar fundalisme adalah penolakan. Jadi dua kutub inilah susuatu yang pasti ada dalam perjalanan keagamaan.
Pertanyaan...
Ini harus ditinjau ualang. Karena dia memandang selama ini pesantren mengajarkan zuhud misalkan, dan zuhud diartiakan salah. Kan ada yang mengartikan zuhud itu merupakan perlawanan terhadap maraknya hedonisme. Zuhud yang diartiakasn semacamam inilah pada akhirnya akan membangun pola pikir santri yang akan meninggalakan dunia. Mengapa ada statemen seperti itu, mungkin dia tidak memandang secara kooprehensif dia hanya melihat hanya kepada satu konsep yang ditawarkan. Atau mungkin dia hanya melihat terhadap satu pesantren yang secara ansich hanya berkutak dalam dunia keilmuan tanpa ditopang dengan kemampuan2 lain yang bisa menjadi modal pengemabangan pada santrinya. Artinya statemen seperti itu tidak harus direspon dg gegabah dan emaosional, paling tidak statemen itu mampu menjadi cambuk bagi pesantren untuk mampu membenahi diri dan usaha untuk menjadikan output pesantren bisa bersaing di zaman globalisasi ini. Sehingga prinsip itu bisa dijadikan stimulus bahwa pendidikan pesantren bisa manjdiikan kemajuan di dunia islam dan negara bukan lagi memprodu kemiskinan. Satu contoh tentang zuhud yang seperti itu dirubah dangan mengambil konsep zuhud yang ditawarkan imam ahmad bin hambal bahwa zuhud itu harus dipahami, satu adalah menghindarkan sgala susuatu yang haram. Dua  meninggalkan yang lebih dari yang halal dan meninggalkan sesuatu yang memalingkan kita dari Allah. Kalau orang melakukan konsep ini, maka akan ada persaingan yang sehat, tidak ada lagi KKN, maka disitu orang akan memiliki kesempatan yang sama yang sesuai dengan kapasitasnya.  Konsep ini kalau dipraktekan secara sekasama akan bisa mementaskan kemiskinan, ini yang terpenting. Oleh karena itu, statemen marzuki ali harus dijadikan cambuk bagi pesantren supaya bisa mencetak alumninya yang mampu bersaing di tengah – tengah globalisasi ini,
Pertanyaan............
NU sekarang menghadapi tantangan maraknya berbagai macam aliran transnasional. NU yang menempatkan diri sebagai kelompok umatan wasato yang memiliki prinsip tawassut, maka secara otomatis NU akan dihadapakan dengan dua kutub ekstriminitas (fundamentalisme dan liberalisme). Nah bagaimana NU yang ada ditengah2nya betul2 mampu mempertahankan wajah NU sebagai umatan wasato. Disinilah NU harus menujukkan bagaimana konsep tawassut ini bisa menjadi pondasi pembangunan kegamaan yang bisa diaplikasikan di indonesia
Pertanyaan.,................
Ya memang prinsipnya seperti itu. Jadi konsep tawassut itu kan moderat. Suatu contoh, bagaimana kita menghadapi produk globalisasi? Itu ada tiga respon, yang pertama adalah menolak semua produk globalisasi, dikatakan karena itu bukan produk islam itu adalah produk barat yang harus ditolak. Kalau konsep ini yang dilakukan maka Nu tidak akan berkembang, malah akan tergilas pada akhirnya. Kalau itu yang terjadi maka pesantren dan NU akan mengalami kemandekkan (intelektual Shut down) hal inilah yang dilakukan oleh kelompok2 fundamental yang menempatkan islam berhadap – hadapan dengan barat. Sementara dikelompok kiri, mereka merespon / menerima tanpa reserve dengan berupaya menjadikan islam menyesuaikan dengan produk globalisasi. ini juga berbahaya pada perkrmbangan keagamaan. Tetapi NU dengan konsep tawassutnya bagaimana berhadapan dengan globalisasi, mereka berprinsip yang baik2 diterima sementara yang jelek2 ditolak. Kemudian kita memang tidak melepaskan diri dari arus putaran globalisasi yang sekarang melanda kita, kita harus siap menjadi orang universal, tetapi pada sisi yang lain kita harus mempertahankan terhadap nilai2 yang dikembangkan olah NU dan Bangsa.
Pertanyaan
Yang moderat itu kan titik tengah anatara fundamental dan liberal.kita tidak bisa menolak secara utuh tetapi kita mempersiapkan bagaimanan kita bisa tetap menjadi pemain yang memiliki daya saing yang kuat bertahan tanpa harus berpengaruh. Didalam memandang pola hubungna agama dg negara, sama kelompok kanan itu memandang bahwa isalam adalah agama yang sudah paripurna yang mengatur terhadap seluruh aspek kehidupan bermasyarakat didalamnya termasuk bagaimana kita hidup berbangsa dan bernegara. Sementara kelompok kiri mengatakan bahwa islam hanya mengatur  hubungan manusia dengan tuhan saja.NU ada ditengah, konsep yang ditawartkan oleh NU adalah hubungan anatara negara dg agama adalah hubungan yang saling membutuhakan (simbiosis mutualisme) agama butuh negara, negara butuh agama tetapi lebih pada nilai2 operasional universal bukan pada pelaksanaan tekhnisnya.
Pertanayaan....
Saya kira NU dan peantren sebagai satu kesatuan sama2 memilki tantangan dalam menghadapi globalisasi saat ini. Globalisasi saat ini yang sudah ditengah2 kita jangan dipandang sebagai lawan dan jangan dipandang sebagai  kawan, tapi dianggap sebagai dinamisator yang bisa manggerakan pesantren dan NU agar bisa eksis dalam laju perkembangan zaman. Kalau kita menganggap mereka kawan maka kita akan terlindas, karena mereka itu bebas nilai sementara disini ada batas2 nilaia yang harus dipertahankan. Tapi kalo dianggap sebagai lawan, maka akan terjadi sebuah kemandekan karena kita tidak bisa memanfaatkan terhadap berbagai produk globalisasi yang dari satu sisi ketika  kita manfaatkan akan menjadikan eksistensi pesantren akan lebih bagus

Menyantrikan Blogger


FACEBOOK, BLOG Vs SANTRI
“Upaya menyantrikan blog”
Oleh: Syaiful Rijal*
            Jika ditanya “apakah kamu punya facebook?” maka semua santri serentak akan menjawab punya. meski facebook dilarang disebagian pesantren, bukan berarti keberadaan pengguna facebook (facebooker) di pesantren sedikit, facebook sudah menjadi candu bagi santri bahkan santri  rela melanggar peraturan untuk sekedar update status atau lainnya.
Tapi,  jika ditanya  “ apakah kamu punya blog?” maka sedikit yang akan menjawab punya, bahkan meskipun punya enggan untuk dikelola, mereka beranggapan bahwa blog tidak seasik facebook, twitter atau  jejaring sosial lainnya. Anggapan ini harus dibuang jauh-jauh karena blog sangat berguna bagi kehidupan kita (baca Santri), baik bagi peningkatan SDM, maupun finansial.
Blog bisa dijadikan sebagai wadah belajar menulis, karena jika mempunyai blog gairah untuk menulis akan bertambah dua kali lipat, blog juga bisa dijadikan lahan bisnis dengan menggunakan bisnis on-line, namun untuk pemula sebaiknya menjauhkan fikiran untuk mengkomersialkan blog, namun jika untuk penyemangat agar kita terus belajar nulis tidak apa-apa,
Di blog kita bisa menulis segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia kita, kita bisa menulis cerita, artikel, dll. Namun  kebanyakan para pengguna blog (blogger) lebih memilih menulis artikel pada blog mereka,
para blogger biasanya punya grub diluar dunia maya. mereka sering bertemu sebulan satu kali sekedar membicarakan perkembangan dunia blog, berbagi tips & trik  blog, sampai urusan bisnis di blog.
Blogger yang ngeblog untuk tujuan bisnis, biasanya membuat dan mengisi blog mereka dengan hal-hal yang menarik agar banyak orang yang tertarik dan mengunjungi blog mereka karena pendapatan (income) yang dihasilkan dari blog tergantung dari pengunjung blog,  oleh karena itu para blogger  menulis tulisan yang bermanfaat dan menarik untuk dibaca dan diamalkan orang lain untuk meraih kesuksesan sehingga blog tak hanya menjadi media mempublikasikan tulisan blogger, tapi juga pundi-pundi penghasil uang.
 Blogger juga dituntut mempunyai kreativitas dalam mencurahkan ide-ide, memberikan inspirasi dan manfaat bagi pengunjung blog, sehingga akan ada pengunjung setia yang selalu menantikan kreativitas berikutnya baik di dalam negeri atau diluar negeri.
            Jika diluar pesantren orang-orang sudah berbondong-bondong menggunakan blog hingga membuat grup blogger di luar dunia maya untuk mengembangkan potensi tulis menulis diri mereka dan hal-hal lainnya, maka santri seharusnya sudah mulai menggunakan blog untuk pengembangan dirinya dan dakwah bil media.
Oleh karena itu besar harapan penulis kepada para santri agar mengganti profesi dari santri facebooker menjadi santri blogger, oleh karena itu perlu kiranya menyantrikan blog di tengah kehidupan santri.
Terakhir, nikmati manfaat dan keuntungan yang akan didapatkan dengan pergaulan di dalam blog (ngeblog) mulai dari tambah mahirnya menulis sampai penghasilan dari ngeblog tentunya. Semoga bermanfaat.